banner dprd mkassar
HUKUM  

Opini : Vonis ringan GORR, Kok Salahkan Kejati

pemprov sulsel

Oleh: Jupri, SH.MH (Dosen Hukum Pidana Universitas Ichsan Gorontalo)

SUARACELEBES.COM, GORONTALO – Seminggu sudah pasca pembacaan putusan Gorontalo Outer Ring Road oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Gorontalo. Tak pelak putusan itu pun masih ada segelintir orang yang tidak mau menerimanya. Walaupun bagi saya itu sah-sah saja, akan tetapi menumpahkan kesalahan kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo itu merupakan suatu kekeliruan.

Mengapa demikian, karena bagi yang sudah mengenyam pendidikan Ilmu Hukum khususnya konsentrasi hukum pidana sedari semester bawah sudah mengambil Mata Kuliah Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana sangat tahu tupoksi masing-masing komponen sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Pihak yang menuding Kejati sebagai penyebab lahirnya vonis ringan perkara Gorontalo Outer Ring Road (GORR) tentunya sekali lagi sangatlah keliru dan mungkin belumlah tuntas membaca UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan PERMA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jikalau paham akan regulasi di atas, maka tudingan kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) tidak mungkin terjadi. Sebab tahu akan dasar hukumnya. Misalnya apakah Jaksa Penuntut Umum (JPU) berwenang untuk menentukan berat ringan putusan. Ataukah apakah tuntutan JPU wajib diikuti oleh Hakim. Maka bila jawabannya “iya” tentunya telah terjadi pembodohan publik. Sebab dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 maupun UU Nomor 16 Tahun 2004, Jaksa tidak memiliki kewenangan untuk menentukan berat ringannya pidana kepada terdakwa. Salah satu kewenangan Jaksa adalah selain yang diatur dalam KUHAP yakni melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Dimana dalam penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf d berbunyi “kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Oleh sebab itu, Kejaksaan dalam hal ini Kejati Gorontalo tidak memiliki kewenangan yang terkait dengan berat ringannya pidana. Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 jelas menegaskan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (vide Pasal 5 ayat 1). Artinya bahwa hakim tidak terikat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam hal menjatuhkan putusan atau vonis.

Hal ini sebab dalam konstitusi kita, jelas menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman yang MERDEKA untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingganya bila yang terbukti di persidangan berdasarkan fakta-fakta persidangan yakni pembayaran dobel Rp. 53 Juta dihubungkan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa kategori kerugian keuangan negara Pasal 3, tersebut masuk kategori paling ringan. Sebab tidak mencapai kerugian keuangan negara Rp. 200 juta dan pembayaran dobel tersebut (baca: Rp. 53 juta) tidak dinikmati oleh terdakwa melainkan dinikmati oleh pemilik lahan penerima pembayaran dobel tersebut.

Sebagai penutup, saya kembali mengajak masyarakat Gorontalo untuk menghargai proses hukum perkara GORR dan tentunya menghentikan berita hoax tentang kerugian keuangan negara Rp 43 Miliar lebih, sebab yang terbukti di persidangan hanyalah Rp. 53 juta.(*)

Call Center PU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *