SUARACELEBES.COM, MAKASSAR – Putusan Bawaslu Kota Makassar yang mengabulkan gugatan pemohon Mohammad Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari Paramastuti berbuntut panjang.
Meski putusan itu sifatnya final, tetapi KPU Makassar tidak berkewajiban untuk menjalankannya karena dianggap bertentang dengan aturan yang ada.
Olehnya, untuk memulihkan status DIAmi kembali menjadi kontestan di Pilkada Makassar hal itu dianggap sulit terealisasi.
Pernyebabnya, putusan yang diterbitkan Bawaslu Kota Makassar tidak berkekuatan kuat apalagi mengikat. Sifatnya hanyalah final. Tidak harus dijalankan.
Hal tersebut ditegaskan mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Hasbi Abdullah saat dikonfirmasi, Senin (14/5/2018).
Pengacara yang sudah banyak mengurusi sengketa Pilkada di pengadilan mengaku KPU wajib mengabaikan putusan Bawaslu Makassar.
Alasannya karena putusan itu dinilai cacat hukum.
Menurut Hasbi dalam amar putusan Panwaslu tidak berkesesuaian dengan Petitum Permohonan sesuai formulir model PSP-1-dab PSP-20-Permohonan dan Putusan Penyelesaian sengketa.
Hasbi membeberkan ada delapan poin alasan KPU tidak diwajibkan mematuhi putusan Bawaslu Kota Makassar.
Pertama, Bahwa KPU Makassar tidak serta merta wajib melaksanakan Putusan Panwas Makassar dan karenanya
KPU dapat mengambil sikap tidak melaksanakan Putusan Panwas Mks No : 002/PS/PWSL.MKS.27.01/V/2018, karena baik PETITUM Permohonan Diami maupun AMAR Putusan Panwas tersebut tidak sesuai dengan Fotmat Formulir Model PSP-1-Permohonan Penyelesaian Sengketa dan Formulir Model PSP-20- Putusan penyelesaian sengketa pemilihan alasannya lantaran pada point 4,5 dan 6 dalam Petitum Permohonan Diami terdapat/menggunakan Frasa kata “Memerintahkan kepada KPU Mks dst” sedangkan dalam Lampiran Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 perihal Formulir Model PSP-1-Permohonan Penyelesaian
Sengketa tidak ada Frasa kata “Memerintahkan” yang adalah hanya Frasa kata “Meminta”.
Kedua, demikian pula pada AMAR Putusan Panwas No : 002/PS/PWSL.MKS.27.01/V/2018 tanggal 13 Mei 2018 yang menggunakan Frasa/Kata “Memerintahkan kepada KPU Mks dst” sedangkan dalam Lampiran Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 perihal
Formulir Model PSP-20- Putusan Penyelesaian Sengketa Pemilihan tidak ada Frasa kata “Memerintahkan” yang adalah hanya Frasa kata “Meminta”;
Adapun poin ketiga, bahwa Lampiran Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 Formulir Model PSP-1- Permohonan Penyelesaian Sengketa Pemilihan dan Formulir Model PSP-20- Putusan penyelesaian sengketa Pemilihan merupakan Ketetentuan dan karenanya haruslah menjadi acuan yang harus dipedomani, diikuti dan ditaati baik oleh Pemohon maupun Panwas dalam Perkara Penyeselaian Sengketa Pemilihan,” lanjutnya.
Sementara poin ke empat, dengan adanya perbedaan Redaksional baik dalam Petitum Permohonan DIAmi selaku Pemohon maupun pada AMAR Putusan Panwas yaitu Frasa kata “Memerintahkan” yang berbeda dengan Lampiran Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2017 Formulir Model PSP-1-Permohonan Penyelesaian Sengketa dan Formulir Model PSP-20- Putusan penyelesaian sengketa Pemilihan yang hanya menggunakan Frasa/kata
“Meminta”, .. Sehingga KPU Mks dapat mengambil sikap tidak menjalankan Putusan Panwas Kota Makassar Nomor : 002/PS/PWSL.MKS.27.01/V/2018 karena adanya perbedaan Redaksional tersebut maka KPU Mks sejatinya tetap mengacu pada Formulir Model PSP-1-Permohonan Penyelesaian Sengketa yang hanya menggunakan Frasa kata “Meminta”;
Sedangkan alasan ke lima, dalam perkara penyelesaian sengketa Pemilihan, Posisi Panwas Mks bukanlah sebagai lembaga Peradilan akan tetapi Panwas Mks hanyalah sebagai lembaga Adjudikasi,
sehingga sifat Putusan Panwas Mks yang dikeluarkan harus mengacu pada Fotmat
Formulir Model PSP-20- Putusan penyelesaian sengketa Pemilihan yang hanya bersifat Meminta, karena Frasa kata “Memerintahkan” hanya ada/digunakan di/oleh lembaga peradilan incasu PT TUN/MA
Alasan keenam, dengan adanya perbedaan/pertentangan tersebut, maka KPU Mks dapat mengambil sikap tidak menjalankan Putusan Panwas Kota Makassar No : 002/PS/PWSL.MKS.27.01/V/2018.
Adapun poin ketujuh, termohon atau DIAmi sudah bukan lagi peserta berdasarkan SK baru KPU yang telah mendiskualifikasi, itu diatur dalam Perbawaslu No 15 Tahun 2017 sedangkan pihak yang bisa memgajukan gugatan sengketa hanya antarpeserta Pemilu maupun peserta dengan penyelenggara.
Dan poin kedelapan atau terakhir adalah obyek sengketa yang disidangkan kembali Panwaslu yakni putusan PT TUN yang telah dikuatkan oleh MA, padahal dalam UU No 9 Tahun 2004 Pasal 2 Poin E junto UU No 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara, bahwa putusan PT TUN itu tidak bisa lagi jadi obyek sengketa itu jelas Undang-Undangnya. (*)