SUARACELEBES.COM, Makassar – Sidang pemeriksaan saksi dugaan tindak pidana korupsi penjualan lahan negara di desa laikang yang menghadirkan Bupati Kabupaten Takalar, Burhanuddin Baharuddin sebagai saksi mulai mengungkap sejumlah fakta terkait status lahan yang menjadi objek perkara ini.
Burhanuddin dalam kesaksiannya menyatakan, bahwa izin prinsip untuk kawasan industri yang ia keluarkan di atas lahan laikang telah melalui prosedur dan sepengetahuan sekretaris daerah dan perizinan satu atap Kabupaten Takalar.
Fakta persidangan juga mengungkap bahwa usai diterbitkannya izin prinsip kawasan industri di desa laikang, juga dilanjutkan dengan melakukan ekspose kawasan industri dihadapan pihak Kementrian dan Gubernur Propinsi Sulsel pada kegiatan Pertemuan Saudagar Bugis Makassar yang pernah berlangsung di Takalar
“kita ekspose Majelis, ada Gubernur, pihak kementrian juga ada, kawasan itu untuk kawasan ekonomi terpadu di Takalar,” ungkap Bur
Selanjutnya, Bur juga mengungkapkan bahwa usai dilakukannya ekspose yang dihadiri oleh seluruh pihak yang akan mendukung pelaksanaan kawasan industri tersebut, proses selanjutnya diserahkan kepada pihak Kecamatan dan desa untuk menindaklanjuti secara teknis, termasuk mengenai pembebasan lahan di desa laikang.
“setelah itu, yang bertanggungjawab adalah camat dan desa majelis,” tambahnya
Dugaan tindak pidana korupsi penjualan lahan negara di desa laikang ini menjerat tiga terdakwa yakni Noor Utary selaku mantan Kepala Kecamatan Mangngarabombang, Risno Siswanto selaku Mantan Sekretaris Desa laikang dan Sila Laidi selaku Kepala Desa
Tiga terdakwa dijerat atas perannya yakni Camat Mangarabombang lantaran dianggap menguasai dan memiliki lahan negara seluas 150 hektare kemudian dijual Rp2000 per meter, sehingga Noor Uthary diduga menikmati hasil penjualan totalnya sebesar Rp3 miliar.
Sementara untuk terdakwa, Risno ikut berperan aktif dalam proses pembebasan lahan membantu pelaku lain yaitu Camat Mangarabombang, Muhammad Noor Uthary, dan Kepala Desa Laikang, Sila Laidi.
Adapun tahap pertama penjualan seluas 150 hektare dihargai 16 miliar lebih. Namun diduga uang itu tidak dinikmati sepenuhnya oleh warga. Warga dalam kasus ini hanya dipergunakan sebagai cangkang sementara penikmat uang yang sebenarnya adalah pemerintah kabupaten.